MANUSIA DAN VISI KEHIDUPANNYA


Kedudukan manusia menurut Isl
âm adalah sebagai khalifah atau wakil Allâh di muka bumi dan Allâh telah menjadikan seluruh ciptaan-Nya, baik yang berada di langit maupun di bumi untuk ke pentingan manusia, sebagaimana firman-Nya :

اللهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَآءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ وَسَخَّرَ لَكُمُ الْفُلْكَ لِتَجْرِيَ فِي الْبَحْرِ بِأَمْرِهِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اْلأَنْهَارَ ، وَسَخَّرَ لَكُمُ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ دَائِبَيْنِ وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ، وَءَاتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللهِ لاَ تُحْصُوهَا إِنَّ اْلأِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

Artinya :

"Allâh-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki buat kalian; dan Dia telah menundukkan bahtera buat kalian agar bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagi kalian sungai-sungai. Dan Dia (juga) telah menundukkan Matahari dan Bulan untuk kalian, yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan siang dan malam buat kalian. Dan Dia telah memberikan kepada kalian dari semua apa yang kalian minta kepada-Nya. Dan jika kalian menghitung nikmat Allâh, tidaklah dapat kalian menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allâh)".

(Surah Ibrâhîm (14) : 32, 33, 34)

Allâh telah mengaruniakan kepada manusia, kemampuan paling besar untuk mengenali, memahami dan menguasai alam-raya. Maka tidak ada batasan bagi pengetahuan manusia dan tidak ada habisnya kemampuan manusia untuk menguasai alam-raya ini.

Namun, apabila kita mencoba melihat visi manusia tentang dunia dan kehidupan berdasarkan informasi yang diberikan Al-Qur-ân, kita akan mendapatkan 3 (tiga) macam visi (pemikiran) yang menjadi dasar dari semua visi manusia yang ada.

Pertama : Visi atau pandangan hidup mereka yang mengatakan bahwa tidak ada lagi kehidupan setelah kehidupan di dunia. Al-Qur-ân telah menyebutkan hal ini :

وَقَالُوا إِنْ هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ

Artinya :

Dan mereka berkata : "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan".

(Surah Al-An-'âm (6) : 29)

Atau dalam ayat yang lain lagi Al-Qur-ân menyebutkan :

وَقَالُوا مَا هِيَ إِلاَّ حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلاَّ الدَّهْرُ

Artinya :

Mereka berkata : "Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa".

(Surah Al-Jâtsiyah (45) : 24)

Mereka ini adalah kelompok manusia yang tidak mengakui keberadaan Allâh sebagai Pencipta (Al-Khâliq) dan mengkhayalkan bahwa dunia ini terwujud secara kebetulan dan bahwa manusia hanya mempunyai bentuk material yang terwujud pada waktu kelahiran dan musnah pada waktu kematian.

Secara mendasar terdapat warna nihilisme yang dalam di sini ; nihilisme yang berasal dari kesadaran yang dalam bahwa tidak ada sesuatu apapun di luar kubur. Nihilisme ini telah mendorong mereka ke arah hedonisme yang diwujudkan dalam bentuk perhatian yang sungguh-sungguh dan khusus terhadap kemakmuran di dunia ini. Mereka adalah orang-orang yang profesional, yang cenderung pada dunia dan sama-sekali tidak tertarik mempelajari kehidupan masa depan (akhirat), karena dalam pandangan mereka hal-hal seperti itu sebenarnya tidak ada. Allâh SWT telah berfirman mengenai mereka:

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ اْلآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

Artinya :

"Mereka -- hanya -- mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedangkan terhadap -- kehidupan -- akhirat, mereka lalai".

(Surah Ar-Rûm (30) : 7)

Dengan pengetahuannya yang hanya terbatas pada dunia, mereka mengatur jalan hidup dan aturan-aturan kehidupan mereka dengan kebutuhan material eksistensi duniawi mereka yang sesaat saja. Dengan kata-lain, mereka mengikuti jalan yang hanya memberikan suatu kebahagiaan dan kesejahteraan material yang terbatas.

Al-Imâm Ibnu Katsîr mengatakan bahwa mereka yang disebut dalam ayat ini ialah orang-orang yang sangat mengerti tentang keduniawian dan cara mendapatkan serta mengaturnya dengan baik, pendeknya mereka merupakan orang-orang yang pandai dan cerdas (profesional) dalam mengolah dan menemukan cara-cara yang efisien dalam berproduksi. Namun, mereka lalai dalam soal-soal keagamaan (Ad-Dîn) dan keakhiratan sehingga mereka nampak seperti orang bodoh yang tidak punya pikiran.

Al-Imâm Al-Qurthubî juga mengatakan, bahwa mereka sangat mengerti tentang cara-cara berproduksi dan tentang dunia mereka, seperti : kapan mereka mulai menanam dan memetik hasil serta, bagaimana cara-cara (teknologi) menanam yang baik dan membuat bangunan (istana), membangun irigasi serta menanam pohon-pohon yang besar.

Ilmu pengetahuan atau sains yang mereka kuasai itulah yang menjadi faktor utama munculnya visi atau pandangan hidup materialistik. Mereka beranggapan bahwa kecerdasan dan substansi manusia adalah berasal dari materi. Melalui ilmu pengetahuan yang dikuasainya mereka pun dapat mengetahui rahasia-rahasia alam. Dan dengan menggunakan fikirannya yang kritis, mereka memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk menghasilkan teknologi. Memang, sains (teknologi) telah memperkuat dan memperkasa manusia.

Betul, sebagian dari mereka masih ada yang mengakui eksisitensi Allâh sebagai Pencipta dan Pengatur alam-semesta, namun kecenderungan mereka yang begitu besar terhadap kehidupan dunia membuat mereka tidak perduli terhadap kehidupan akhirat, dan ini terungkap dalam do'a mereka, sebagaimana disebutkan Allâh SWT. :

فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا أَتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي اْلآخِرَةِ مِنْ خَلاَقٍ

Artinya :

Maka di antara manusia itu ada yang berdo'a: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia". Dan ia tidak mendapat bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.

(Surah Al-Baqarah (2) : 200)

Mereka ini sepanjang hidupnya tidak memiliki tujuan lain kecuali kemajuan material dan tak memikirkan sesuatu kecuali perbaikan kedudukan sosial, menimbun kekayaan dan menikmati kesenangan-kesenangan material. Siang malam mereka membanting tulang untuk mencari nafkah hidup dan tak sedikit pun menaruh perhatian pada segala sesuatu yang berada di luar kerangka kehidupan fana dunia material ini. Dengan kata-lain, mereka sama-sekali tidak berfikir tentang akhirat. Itulah sebabnya ayat di atas menegaskan bahwa mereka tidak akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat

Al-Ustadz Sayyid Quthb (rahimahullâh) mengatakan, bahwa dunia nyata atau sesuatu yang bisa dijangkau oleh penglihatan sebenarnya sangat kecil dan terbatas, meskipun dalam pandangan manusia terlihat luas dan lengkap sehingga mereka tenggelam dalam kebohongan, dan mereka pun tidak dapat menyelidikinya dalam kehidupan mereka yang sempit.

Kedua : Visi atau pandangan kepertapaan (rahbaniyyah) atau asketisme yang merupakan ujung ekstrim pandangan hidup materialistik, yaitu pandangan hidup religius ekstrim yang membuahkan serba keakhiratan. Visi atau pandangan ini dipopulerkan oleh para pengikut nabi 'Isâ a.s., sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Hadîd (57) : 27 :

ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَى أَثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَتَيْنَاهُ اْلأِنْجِيلَ وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَآتَيْنَا الَّذِينَ أَمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ

Artinya :

"Kemudian Kami iringkan di belakang mereka rasul-rasul Kami dan Kami iringkan (pula) 'Isâ putera Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-ngadakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-ngadakannya) untuk mencari keridhaan Allâh , lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya".

Yang dimaksud dengan "rahbaniyyah" ialah tidak beristeri atau bersuami dan mengurung diri dalam biara.

(Lihat catatan kaki terjemahan Al-Qur-ân Dept Agama hal. 905)

Sedangkan Al-Imâm Ibnul-Atsîr mengatakan, bahwa yang dimaksud "rahbaniyyah" (رَهْبَنِيَّة) ialah :

يَتَرَهَّبُوْنَ بِالتَّخَلَّى مِنْ أَشْغَالِ الدُّنْيَا , وَ تَرْكِ مَلاَذِّهَا , وَ الزُّهْدُ فِيْهَا , وَ اْلعُزْلَةَ عَنْ أَهْلِهَا , وَ تَعَمُّدِ مَشَاقِّهَا , حَتَّى إِنَّ مِنْهُمْ مَنْ كَانَ يَخْصَى نَفْسَهُ , وَ يَضَعُ السِّلْسِلَةَ فِي عُنُقِهِ , وَ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ أَنْوَاعِ التَّعْذِيْبِ

Artinya :

"Menjadi pendeta dengan mengurung diri dari kesibukan dunia, meninggalkan segala kenikmatan, bersikap zuhud, menjauhi isteri dan sengaja menanggung penderitaan (menyiksa diri) di dunia; sehingga sebagian mereka ada yang mengebiri dirinya, ada juga yang meletakkan rantai di lehernya dan berbagai macam bentuk penyiksaan diri lainnya".

(An-Nihâyah juz II hal. 280)

Dunia fana ini dengan segala kenikmatan dan kesenangan yang ada, dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang harus dijauhi. Sedangkan manusia, dalam pandangan mereka adalah sosok yang penuh dosa yang diwarisinya sejak ia lahir, yang penyucian jiwanya hanya dapat dicapai dengan memutuskan semua ikatan-ikatan material dan memalingkan perhatian dari perhiasan yang menipu dan hawa-nafsu yang menyesatkan dari dunia ini. Mereka bahkan memutus semua pergaulan sosial dan menutup mata dari segenap keindahan dan keburukan serta setiap kemanisan dan kepahitan pengalaman kehidupan yang fana dan memperdayakan ini.

Asy-Syaikh Abûl-Hasan An-Nadawî (rahimahullâh) mengatakan : Kegandrungan Dunia Nasrani terhadap kependetaan (asketisme) telah melampaui batas yang luar-biasa. Contoh dalam soal ini dapat kita temukan dalam kitab "History of European Morals Chapter IV", dan ini hanya salah satu contoh dari sekian banyaknya contoh yang lain :

"Jumlah pendeta -- pada abad ke IV Masehi di wilayah Imperium Romawi -- telah berkembang sedemikian pesatnya sehingga menimbulkan persoalan besar, menuntut perhatian dan merepotkan orang banyak. Sangat sulit untuk menentukan jumlah mereka secara pasti, namun dari keterangan para ahli sejarah dapat ditemukan penjelasan perkiraan jumlah mereka serta gerakan penyebaran paham asketisme, yaitu dalam perayaan hari paskah hadir 50.000 orang pendeta. Dan pada abad ke IV Masehi, seorang Kepala pendeta membawahi 5.000 orang pendeta. Bahkan seorang pendeta bernama Sarâbîn mengepalai 10.000 orang pendeta. Dan di akhir penghujung abad ke IV Masehi, jumlah para pendeta itu sudah lebih banyak dari penduduk Mesir".

(Lihat: Mâ dzâ Khasiral-'Alam Bi Inhithâthil-Muslimîn (Apa Kerugian Dunia Akibat Kemunduran Kaum Muslimin) hal.184)

Keanehan Tindak-Tanduk Para Pendeta

Sikap seseorang terhadap dunia sering-kali mempengaruhi tindakan-tindakannya. Dengan kata-lain, cara hidup seseorang berkaitan erat dengan caranya memandang dunia. Begitu-pula halnya dengan para pendeta Nasrani pada abad ke IV Masehi. Pandangan mereka yang apriori terhadap dunia dan asketisme mereka telah melahirkan tindak-tanduk yang amat aneh. Sebagaimana telah disebutkan oleh Asy-Syaikh Abûl-Hasan An-Nadawî (rahimahullâh) dalam kitab beliau yang terkenal: "Mâ dzâ Khasiral-'Alam Bi Inhithâthil-Muslimîn" hal.185:

Selama dua abad, tradisi penyiksaan diri -- yang dilakukan oleh para pendeta Nasrani -- dijadikan contoh yang sempurna dari pelaksanaan agama dan akhlaq. Para ahli sejarah telah meriwayatkan tingkah laku aneh tersebut. Mereka menceritakan tentang perbuatan seorang pendeta bernama Makarius yang tidur di tumpukan sampah selama 6 bulan dalam keadaan telanjang agar digigit oleh lalat berbisa dan terus-menerus memikul besi seberat satu dacin (62,5 kg). Sedangkan temannya, seorang pendeta yang bernama Eusebius, bahkan memikul besi seberat dua dacin dan tinggal selama tiga tahun di sebuah sumur yang telah dikeringkan. Seorang pendeta yang lain, yang bernama Yohana (St. John) menyiksa dirinya dengan cara berdiri dengan satu kaki selama tiga tahun, tidak tidur dan tidak duduk. Apabila merasa lelah, ia menyandarkan tubuhnya pada batu besar. Sementara itu sebagian pendeta yang lain yang selamanya tidak mau mengenakan pakaian, mereka menutupi dirinya dengan rambutnya yang panjang. Dan mereka berjalan dengan menggunakan kaki dan tangan, seperti binatang. Sebagian besar dari mereka tinggal di goa-goa tempat binatang buas, di sumur-sumur kering dan kuburan-kuburan. Sehari-harinya mereka hanya mengkonsumsi jenis tanaman dan rerumputan. Mereka beranggapan bahwa membersihkan tubuh akan menghilangkan kesucian ruhani, sedangkan mencuci sebagian anggota dianggap sebagai perbuatan berdosa. Menurut anggapan mereka, orang yang paling zuhud dan paling berbakti ialah orang yang paling menjauhkan diri dari kebersihan dan sangat getol bergelimang dalam najis dan kotoran. Pendeta Athinas mengatakan, bahwa pendeta Antoni tidak pernah mencuci kakinya, karena menganggap hal itu sebagai perbuatan dosa. Seorang pendeta lain bernama Abraham bahkan tidak pernah mencuci muka dan kakinya selama lima-puluh tahun. Di belakang hari, seorang pendeta di Iskandariah (Alexanderia) mengomentari peristiwa itu dengan penuh penyesalan: "Alangkah bodohnya ! Pada masa lalu kita menganggap mencuci muka sebagai perbuatan haram, tetapi sekarang kita masuk tempat-tempat pemandian !".

(Lihat : Mâ dzâ Khasiral-'Alam Bi Inhithâthil-Muslimîn hal.185)

Asketisme atau kependetaan seperti ini, jelas merupakan pandangan hidup religius ekstrim yang bertentangan dengan fitrah. Itulah sebabnya Islâm melarang dan tidak mengakui paham kependetaan atau asketisme, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw.:

لاَ رَهْبَانِيَّةَ فِي اْلإِسْلاَمِ عَلَيْكُمْ بِاْلجِهَادِ فَإِ نَّهُ رَهْبَانِيَّةُ أُمَّتِي

Artinya:

"Tidak ada kependetaan dalam Islâm. Berjihâdlah kalian, karena -- jihâd -- merupakan kependetaan umat-ku".

Al-Imâm Ibnul-Atsîr mengatakan, bahwa ucapan Rasûlullâh saw. yang menyatakan jihâd adalah kependetaan dalam umatnya karena terdapat persamaan antara kependetaan dalam Nasrani dengan orang yang berjihâd di jalan Allâh, yaitu sama-sama meninggalkan kepentingan dunia, bersikap zuhud dan memisahkan diri dari keluarga. Dan sebagaimana kependetaan merupakan 'amal yang paling mulia dalam pandangan Nasrani, maka berjihad pun merupakan 'amal yang paling istimewa dalam Islâm. Tidak ada satu pun 'amal yang lebih istimewa daripada berjihâd. Itulah sebabnya Rasûlullâh saw. bersabda:

ذِرْوَةُ سَنَامِ اْلإِسْلاَمِ اْلجِهَادُ فِي سَبِيْلِ اللهِ

Artinya :

"Puncak tertinggi Islâm ialah berjihâd dalam Sabîlillâh".

(Lihat : An-Nihâyah juz II hal. 280-281)

Seorang cendikiawan dari Timur-Tengah menyatakan bahwa mereka yang berjalan di atas paham asketisme atau religius ekstrim semacam ini telah berjalan di atas khayalan mereka sendiri, dan masih perlu dipertanyakan apakah mereka mungkin mencapai tujuan yang telah ditentukan oleh penciptaan ?

Ketiga : Visi atau pandangan hidup yang berdasarkan keseimbangan antara yang material dan spiritual atau yang mempertemukan antara dunia dan akhirat. Inilah visi atau pandangan hidup yang diajarkan oleh Islâm yang dibawa oleh Rasûlullâh saw.

Konsep dasar Islâm adalah bahwa langit dan bumi beserta semua yang ada di dalamnya adalah ciptaan Allâh yang Maha Pencipta. Dan manusia adalah salah-satu spesies penciptaan-Nya yang paling sempurna, sebagaimana firman-Nya:

لَقَدْ خَلَقْنَا اْلأِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

Artinya :

"Sesungguhnya Kami ciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk".

(Surah At-Tîn (95) : 4)

Allâh SWT. pun menganugerahkan kemuliaan kepada manusia di daratan dan di lautan, melimpahkan rezeki yang baik-baik bagi mereka serta memberikan kelebihan dari seluruh makhluq lainnya, sebagaimana firman-Nya :

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً

Artinya:

"Dan sesunguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, mereka kami angkut di daratan dan di lautan. Mereka Kami beri rezeki dari yang baik-baik, dan mereka kami karuniai kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluq yang Kami ciptakan".

(Surah Al-Isrâ' (17) : 70)

Bahkan, semua yang ada di bumi diciptakan-Nya untuk manusia, sebagaimana firman-Nya:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي اْلأَرْضِ جَمِيعًا

Artinya :

"Dialah yang telah menciptakan semua apa yang ada di bumi untuk kalian".

(Surah Al-Baqarah (2) : 29)

Maka dengan semua sarana yang telah Dia berikan, Dia perintahkan manusia untuk berusaha secara sungguh-sungguh mendapatkan kebahagiaan di akhirat tanpa melupakan kenikmatan dunia, sebagaimana firman-Nya:

وَابْتَغِ فِيمَا أَتَاكَ اللهُ الدَّارَ اْلآخِرَةَ وَ لاَ تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا

Artinya :

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allâh kepada-mu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagian-mu dari (kenikmatan) duniawi...".

(Surah Al-Qashash (28) : 77)

Kemudian Dia juga memerintahkan dan mengajarkan manusia untuk berdo'a memohon kebaikan (kebahagiaan) di dunia dan di akhirat kepada-Nya:

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya:

Dan di antara mereka ada orang yang berdo'a : "Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka".

(Surah Al-Baqarah (2) : 201)

Do'a atau permohonan yang disampaikan kepada Allâh adalah wujud dari sebuah cita-cita atau keinginan. Dan manusia yang paling mulia cita-citanya adalah orang mu'min, yaitu mereka yang mempunyai cita-cita terhadap kehidupan dunia dan akhiratnya, sebagaimana sabda Rasûlullâh saw.:

أَعْظَمُ النَّاسِ هَمًّا اْلمُؤْمِنُ اَّلذِيْ يَهُمُّ بِأَمْرِ دُنْيَاهُ وَ أَمْرِ آخِرَتِهِ

Artinya:

"Manusia yang paling mulia cita-citanya adalah orang mu'min, yang bercita-cita terhadap perkara dunianya dan perkara akhiratnya".

(H.R. Ibnu Mâjah)

Ajaran Islâm telah memilih suatu jalan di antara yang sepenuhnya material dan sepenuhnya spiritual, suatu jalan yang menyelaraskan dan memadukan kedua segi yang saling bertentangan. Muhammad Asad (Leopold Weiss), seorang cendikiawan muslim berkebangsaan Jerman telah mengungkapkan hal ini dengan cermat sekali, beliau berkata:

Islâm tidak memandang dunia ini dengan kacamata hitam sebagaimana yang dilakukan orang-orang Nasrani. Bahkan ia mengajarkan kita untuk tidak berlebihan dalam meremehkan kehidupan dunia, dan juga jangan berlebihan dalam mengagung-agungkan nilainya seperti yang dilakukan oleh peradaban Barat sekarang ini. Agama Masehi atau Nasrani sangat mencela dan membenci kehidupan dunia, sedangkan Barat (yang mengaku beragama Nasrani) sekarang ini, justru berbeda sekali dengan ruh dan semangat yang dibawa oleh agama Nasrani. Mereka sangat berambisi terhadap kehidupan dunia seperti orang lapar menghadapi makanan. Ia menelannya begitu-saja tanpa dapat menilai makanan yang ditelannya. Sebaliknya, Islâm memandang kehidupan ini dengan tenang dan penuh hormat, ia tidak mengabdi pada kehidupan, akan tetapi ia hanya memandangnya sebagai suatu tahap yang harus kita lalui dalam perjalanan menuju kehidupan yang lebih tinggi. Jadi, sebagai suatu tahap yang harus dilalui, tidak benar jika manusia menghina atau meremehkan nilai kehidupan dunia ini. Sesungguhnya perjalanan yang kita lalui di dunia ini merupakan suatu ketetapan yang pasti yang telah ditentukan sebelumnya oleh Allâh. Jadi, kehidupan manusia di dalamnya mempunyai nilai yang besar. Akan tetapi kita tidak boleh lupa, bahwa kehidupan ini hanyalah sebuah perantara dan sarana yang nilainya tidak lebih dari itu. Islâm tidak dapat mentolerir pandangan materialis yang mengatakan: "Sesungguhnya kerajaan-ku hanyalah di dunia ini". Dan juga pandangan agama Masehi yang menghina dunia dan mengatakan : "Dunia ini bukan kerajaan-ku". Tetapi, jalan yang ditempuh Islâm ialah jalan tengah, yaitu di antara kedua pandangan itu. Al-Qur-ân telah menunjukkan pada kita agar berdo'a :

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Artinya :

"Ya Rabb kami, berikan kepada kami kebaikan di dunia dan juga kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka".

(Surah Al-Baqarah (2) : 201)

Jadi, menghargai dunia ini dan segala isinya bukan batu penghalang bagi kita untuk berupaya mencapai kehidupan spiritual yang baik, dan peningkatkan materiil pun merupakan hal yang dianjurkan oleh Islâm, akan tetapi hal itu tidak menjadi tujuannya yang utama. Sesungguhnya tujuan utama dari upaya kita ialah mewujudkan kondisi individual dan sosial -- dan memelihara kondisi itu jika telah terwujud -- yang dapat menolong peningkatan kekuatan moral di kalangan manusia, sesuai dengan prinsip di atas. Islâm membimbing manusia agar memiliki tanggung jawab moral terhadap perbuatan yang dilakukan, baik yang besar maupun yang kecil. Sistim keagamaan Islâm selamanya tidak mentolerir apa yang diperintahkan oleh Injîl, yang mengatakan : "Berikanlah kepada Kaisar apa yang untuk Kaisar dan berikanlah kepada Allâh apa yang untuk Allâh", karena -- sebagai satu dîn yang sempurna -- Islâm tidak mentolerir pemisahan kebutuhan hidup kita menjadi kebutuhan moral di satu pihak dan kebutuhan praktis di lain pihak. Di situ hanya ada satu pilihan, yaitu pilihan di antara yang haq dan batil, tidak ada jalan tengah di antara -- yang haq dan batil -- itu, karena itu Islâm mendorong untuk ber'amal, karena 'amal merupakan bagian yang wajib dan dibutuhkan bagi akhlaq. Sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk melihat dirinya sebagai pribadi yang ikut bertanggung jawab terhadap lingkungan di mana ia berada, dan atas setiap peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Ia diperintah untuk berjuang menegakkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan.dalam berbagai bentuknya, dan setiap saat. Al-Qur-ân telah mengatakan hal ini :

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ

Artinya :

"Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan bagi manusia, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran serta beriman kepada Allâh".

(Surah Ali 'Imran (3) : 110)

Inilah yang menjadi dorongan moral bagi gerakan perjuangan (jihâd) dan penaklukan-penaklukan Islâm di masa lalu dan juga pendudukan daerah lain (ekspansi) yang dilakukan oleh Islâm, jika kita terpaksa menggunakan istilah itu. Akan tetapi ekspansi Islâm tidak dimotivasi oleh ambisi kekuasaan atau perluasan daerah, dan bukan pula karena kepentingan ekonomi bagi suatu bangsa. Para pejuang Islâm pada masa lalu terjun ke medan juang bukan karena ambisi ingin memperoleh kehidupan enak dan menyenangkan dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Tujuan dari ekspansi itu tidak lain untuk membangun dunia yang lebih baik, yang memberi kemungkinan bagi manusia untuk meningkatkan aspek kerohaniannya. Sebagaimana halnya dengan "ilmu keutamaan" atau "budi-pekerti", yang mana ajaran Islâm mewajibkan setiap insan untuk mengimplementasikannya dalam bentuk perbuatan. Islâm selamanya tidak menyetujui pemisahan ala Plato dan pembedaan secara teoritis antara budi pekerti yang baik dan buruk, bahkan dalam pandangan Islâm sekedar teori semata-mata dalam membedakan yang haq dan batil tanpa merealisasikannya dalam bentuk perbuatan adalah perbuatan yang tidak tahu malu dan rendah. Dan -- sekedar teori -- tidak termasuk dalam rangka menegakkan yang haq dan menghapus yang batil. Karena budi pekerti yang baik -- sebagaimana ditegaskan oleh Islâm -- akan hidup bila setiap orang berjuang untuk menyebar-luaskannya sampai menguasai kehidupan di muka bumi dan ia akan mati apabila manusia meremehkannya dan berpangku tangan, tidak mau membelanya.

(Lihat Mâ dzâ Khasiral-'Alam Bi Inhithâthil-Muslimîn hal. 133-135)

Dengan cahaya dan petunjuk Al-Qur-ân, seorang muslim mengembangkan kehidupan spiritualnya ke dalam setiap aspek kehidupan materialnya, di mana pun ia berada dan apa pun yang ia kerjakan. Karena, tidak mungkin bagi seseorang bisa sampai pada kesempurnaan dan kebahagiaan sejati tanpa menggunakan sarana material yang dimilikinya.

(Wallâhu A'lam)

Tidak ada komentar: